Jumat, 07 Agustus 2009

Berhenti sejenak


Hidup ini adalah sebuah perjalanan. Dalam setiap perjalanan sudah selazimnya kita akan menjumpai tempat-tempat yang indah dan terkadang pula kita akan menjumpai tempat yang kering dan tandus.

Anggap saja bahwa tempat yang indah yang kita lalui itu adalah bagian-bagian dari cita-cita hidup ini. Sedangkan bagian yang tandus adalah bagian dimana kita berproses untuk mencapai cita-cita itu.

Dan setiap masa pasti kita punya tujuan dan tahapannya sendiri-sendiri. Seperti waktu kecil kita dilatih untuk bisa berjalan, setelah itu kita belajar berlari, kemudian naik sepeda hingga akhirnya ketika dewasa kita sudah bisa mengendarai pesawat.

Sering kali perjalanan ini amat indah dan menyenangkan. Namun tak jarang pula kita merasakan hidup ini penuh dengan tekanan dan tuntutan. Terkadang sampai-sampai hanya sekedar menapakkan kaki saja kita seolah tidak sanggup.

Nah, jika sudah seperti ini kemudian kita berfikiran bahwa kita adalah satu-satunya manusia yang mengalami kesialan dan paling tidak beruntung di dunia ini.

Saudaraku skalian,
Kita sudah sering mendengar bahwa salah satu kenikmatan yang diberikan kepada manusia adalah kemampuan untuk melupakan sesuatu.
Coba kita bayangkan alangkah sengsaranya kita jika tidak memiliki kemampuan ‘melupa’.
Manusia mampu dengan mudah berpindah dari aktivitas satu menuju aktivitas yang lainnya dengan cepat dan sempurna. Bayangkan jika kita seperti komputer, maka berapa juta memori yang akan ditaruh di otak kita.

Lho, apa hubungannya?
Sesungguhnya masalah itu muncul karena ketidak sesuaian antara alam ‘harap’ dengan alam ‘nyata’. Kita mengharapkan di tengah bulan ini smua pekerjaan telah terselesaikan, namun ternyata hingga akhir bulan masih belum selesai. Kita ingin agar lulus cepat, dapat kerja, bertemu pasangan ideal dan nikah namun kenyataannya sangat jauh dari yang diharapkan. Jangankan kerja, lulus saja terasa tidak mampu. Permasalahannya disini adalah dimana kita meletakkan nilai-nilai tersebut

Ingatlah, sebagus apapun rencana kita, pasti masih indah rencana Allah untuk kita.

Oleh karena itu jika suatu nilai yang kita letakan ternyata tidak tercapai, maka tugas kita adalah menata ulang bangunan itu menjadi rencana baru yang lebih baik yang menjadi target baru kita. Toh kita di beri kenikmatan melupakan sesuatu. Mungkin akan terasa pahit dan sangat sulit untuk mensetting ulang. Namun akan terasa lebih pahit dan sulit jika kita tidak bertindak cepat, dan bahkan hanya menyerah pada keadaan, kemudian menjalani apa adanya sambil menunggu datangnya keajaiban.

Bukankah kita dikatakan hidup jika kita berbuat..
Bukankah kita dirasakan ada karena kontribusi kita..

Berhenti sejenak
Cara yang paling sederhana untuk memulainya adalah dengan berhenti sejenak. Lepaskan penat dikepala, letakkan sejenak bahu-bahu kita yang penuh dengan masalah. Cobalah berfikir jernih. Atau liatlah sekeliling kita untuk mencari inspirasi baru. Setelah itu bersantai dan memikirkan kembali tujuan yang utama yang akan kita raih. Starting from the end. Dan jangan lupa, kita mengadu pada Yang Maha Besar, sesungguhnya apa yang ada didunia ini hanyalah fana dan kecil, Dia Yang Maha Kekal.

Kita tentu masih ingat bahwa Rasulullah menerima wahyu pertama kali di gua hira, setelah beliau selama berhari-hari menyendiri di sana?
Bukankah kita melihat karya-karya besar sayid Quthub dihasilkan ketika beliau berada dalam penjara?
Dan taukah bahwa novel ayat-ayat cinta ditulis ketika penulis (habbiburahman el-shirazy) mengalami kebosanan saat menjalani perawatan paska kecelakaan?

Saudara sekalian
Kita memang bukanlah orang besar, yang memiliki jiwa dan pemikiran besar.
Namun kita ada dan dilahirkan adalah sebagai karya besar,
yang sungguh teramat disayangkan jika harus menyerah dan pasrah dengan keadaan..

“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan” (QS.31:22)

Minggu, 26 Juli 2009

Seindah Cinta Ibu

ketika tidak sengaja menemukan sebuah artikel...
semoga bisa menginspirasi semuanya....

...

Bila aku mencintai Ibu,
itu semata-mata karena dari rahimnya yang suci aku terlahir.
Alasan itu sudah cukup bagiku untuk mencintainya sepenuh jiwa.
Jika kemudian cintaku berkembang dan terus bermekaran, itu karena Ibu selalu menitipkan kasihnya padaku tanpa pernah ada keinginan untuk mengambilnya kembali.
Sungguh aku merasa mendapat kemuliaan tak terkira berkesempatan menjaga cinta itu agar terus bersemi di bilik hati.

Ibu memang teramat istimewa bagiku.
Dia adalah matahari yang tak pernah lelah menghangatkan bumi.
Dia juga bulan yang selalu setia memantulkan cahaya cinta sang matahari dalam pekatnya malam.
Bahkan Ibu adalah angin pembawa kesejukan bagi nuraniku.
Dan adalah Ibu, sosok wanita yang selalu kukagumi sepenuh hati karena ketegaran dan ketulusan cintanya.

Kamu nggak malu Tres,
Malu kenapa,Bu?
Kamu nggak malu jalan bareng sama Ibu seperti ini?
Justru Tresna selalu sangat menginginkan kesempatan seperti ini, Bu, berjalan-jalan berdua dengan Ibu, memperkenalkan Ibu dengan teman-teman Tresna.
Hal ini sangat membuat Tresna bahagia, sambungku kemudian.

Bukan salah Allah jika Ibu diciptakan dengan kaki yang begitu ringkih, bengkok dan teramat kecil.
Bukan maksud Allah menjadikan Ibu sebagai bahan tertawaan anak-anak kecil karena ia hanya mampu ngesot untuk mencapai suatu tempat.
Yah, Ibu, karena kecacatannya itu, tidak bisa berjalan secara normal.
Bukan juga kehendak Ibu bila dalam keadaan seperti ini kami mengalami kehidupan yang sulit.
Menjadi pembatik adalah cara Ibu untuk mendapatkan penghasilan untuk membesarkan dan menyekolahkanku.
Kamu nggak perlu marah pada mereka, Tres.
Ibu bisa maklum mengapa mereka mentertawakan Ibu.
Lagipula Ibu juga nggak malu.
Justru Ibu bangga diciptakan dalam bentuk yang istimewa seperti ini.
Setiap saat Ibu bisa tersadarkan akan kebesaran Gusti Allah.
Kalau Ibu ikhlas menerimanya, maka Gusti Allah pun akan ikhlas menerima Ibu nanti.
Kalau Ibu tersenyum saat menerima ejekan dan hinaan ini, maka Gusti Allah juga akan tersenyum kepada Ibu.

Aku terdiam sejenak.
Ah Ibu....
Lamunanku dibuyarkan oleh tepukan Ibu.
Kita turun sini aja, Tres. Udah sampai.
Kita belanja kain sidomukti dan parangrusak pesenan Bu Padmo dan Bu Singgih dulu.
Setelah itu kita nyari bahan baju buat kamu.
Aku mengangguk.
Setelah belanjanya selesai, aku dan Ibu memutuskan untuk segera pulang.
Namun tiba-tiba dari arah seberang aku mendengar letusan diikuti hiruk-pikuk suara orang-orang berteriak.

Kebakaran ! Kebakaran ! Lari !
Aku panik menghadapi situasi seperti ini.
Orang-orang berlarian, berebutan ingin cepat-cepat keluar dari pasar.
Aku berpikir bagaimana caranya bisa membawa Ibu keluar dari pasar dengan cepat. Akhirnya aku putuskan untuk menggendong Ibu.
Hanya itu cara yang paling memungkinkan yang bisa aku lakukan.

Bu, Tresna akan menggendong Ibu!
Dan dalam sekejap Ibu sudah ada di punggungku.
Sekuat tenaga aku berlari menghindari kobaran api yang semakin membesar. Namun karena membawa beban berat, lariku tidak bisa cepat.
Aku sangat kelelahan, terhimpit dalam desakan massa, aku tidak bisa leluasa bergerak.
Tiba-tiba ada seorang laki-laki menabrakku dan aku terjerembab bersama Ibu.
Aku berusaha berdiri, tapi tidak bisa.
Kulihat Ibu pingsan terinjak-injak orang. Aku menangis, berteriak minta tolong. Namun tak seorang pun peduli.
Dan DUARR !
Sebuah ledakan memperbesar kebakaran itu.
Api menjilat-jilat di depanku.
Hawa panasnya menyapu wajahku.
Sekuat tenaga aku berusaha menggapai tubuh ibu.
Namun serta merta ada tangan kokoh menyeretku menghindar dari jilatan api.
Aku meronta.
Yang kumau hanyalah Ibu.
Aku berteriak-teriak memanggil-manggil Ibu.
Tapi aku tidak melihat bayangannya lagi.
Akhirnya aku hanya bisa menangis.
Kupandangi jilatan api yang melahap pasar dan isinya.
masih banyak orang yang ada di dalam yang tidak sempat menyelamatkan diri.
Dan salah satunya adalah ibuku
Aku terisak, tersedu menyadari hal itu.

Hampir satu jam, kebakaran itu baru bisa diatasi.
Asap masih mengepul di sebagian sudut pasar.
Jerit tangis dan hiruk-pikuk orang berbaur dengan hingar-bingar suara ambulan dan mobil pemadam kebakaran.
Aku amati mereka.
Kucari sosok yang berkaki bengkok dan kecil.
Aku menahan napas, hatiku berdebar-debar dan jantungku terus berpacu.

Semoga tak kutemukan, batinku.
Begitu samapai pada ujung barisan, hatiku terlonjak.
Ibu tidak termasuk dalam jajaran korban yang gosong itu.
Harapan untuk bisa menemukan Ibu dalam keadaaan selamat kembali muncul.

Gontai langkahku kuseret menuju Rumah Sakit Dharma Pertiwi.
Kata petugas kesehatan, korban yang luka dievakuasi ke sana.
Jarak rumah sakit yang hanya satu setengah kilometer terasa sangat jauh. Langkahku sebenarnya tersa sangat berat.

Ada pasien dengan kaki kecil dan bengkok, Suster?
Ada, kebetulan tadi saya yang menanganinya.
Lukanya sangat parah.
Mari saya antar.
Aku mengikuti langkah perawat yang masih seumuran denganku itu ke bangsal tiga lantai satu.
Ternyata di sana sudah penuh dengan orang
Di sebelah sana, tempat tidur baris ketiga dari jendela.

Apakah lukanya parah suster ?
Yah memang sangat parah.
Tapi masih bisa hidup kan, Suster...?
Perawat itu mengangguk.
Tapi kemungkinan dia akan mengalami cacat di wajah dan gangguan penglihatan.

Maksud suster buta?
Kembali perawat itu mengangguk.
Aku tersedu.
Lengkap sudah penderitaanmu, Bu.
Puaslah mereka yang ingin mentertawakanmu.
Ya Allah beginikah cara-Mu menyayangi ibuku ?
Seandainya penderitaan ini bisa kuganti, bairlah ya Allah, aku yang menanggungnya asal Kau bahagiakan ibuku.
Kembali tangisan kepedihan mengguncangku.
Hatiku teriris, miris dan perih.
Aku tidak akan bisa tahan melihat penderitaan Ibu.

Kutunggui Ibu sepanjang hari ini.
Kutatap putih perban yang melilit seluruh wajah dan tubuhnya.
Aku ingin jika nanti Ibu siuman ia tahu bahwa putri satu-satunya ada di sisinya. Dalam shalat asharku tadi aku berdoa khusus untuk Ibu.
Aku minta agar aku diberi kesempatan untuk membahagiakananya.
Aku ingin Ibu melihatku lulus kuliah, memakai toga dan diwisuda.
Tiba-tiba aku melihat gerakan lemah pada jemari ibu.
Ibu sudah sadar! sorakku dalam hati.
Kusentuh jemari Ibu pelan.
Kubisikkan kalimat-kalimat penyemangat.
Ini Tresna, Bu !
kembali gerakan lemah jemarinya muncul.
Hatiku girang.
Berulangkali ucapan hamdalah mengalir dari bibirku.

Ibu ada di rumah sakit.
Ibu kena luka bakar dalam kebakaran di pasar tadi pagi.
maafkan Tresna yang tidak sempat menyelamatkan Ibu.
Semua terjadi begitu cepat

Ibu jangan menangis kuelus lalu kucium jemarinya.
Ibu, Tresna sudah belajar menjadi tegar seperti Ibu.
Tresna sudah berusaha untuk tidak menjadi cengeng.
Tapi Ibu jangan menangis seperti ini.
Kalau ibu menangis...
Tresna... hik hik .

Akhirnya aku hanya bisa menelumgkupkan wajahku di kasur Ibu.
Aku takut membayangkan hidup seorang diri tanpa bimbingan kasih Ibu.
Aku tak peduli walau ibuku tidak senormal wanita-wanita lain.
Apa pun keadaannya, tak akan ada yang sanggup menggantikannya, cintanya, ketulusannya, nasihat-nasihatnya, juga senyumnya.
Di balik ringkih tubuhnya, ibuku adalah seorang wanita yang kuat.
Kuat dalam arti yang sebenarnya.
Air mata yang tadi kutahan terus berjatuhan satu-satu.

Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh bahuku dan sebuah suara memanggil namaku. Suara itu aku sangat mengenalnya.
Perlahan kuangkat wajahku, dan kuperhatikan tubuh berbalut perban putih di depanku.
Masih diam.

Tresna, kenapa kamu menangis di situ, Nduk ?
Ibu di sini, Cah Ayu...
Aku menoleh.
Kaget setengah mati.
Disamping kiriku ada sesosok yang sangat kukenal.
IBU!
Benar dia ibuku.
Jadi yang kutunggui dan kutangisi sepanjang hari ini siapa?
Maaf, Mbak, orang yang terbaring itu bukan ibu Mbak.
namanya Fitri, usianya 30 tahun.
Dia anak saya, seorang ibu-ibu setengah baya memahami keterjutanku.
Seorang perawat yang tadi mengantarkanku pun mengangguk pelan.
Akhirnya penuh rasa syukur aku menghambur ke pelukan Ibu yang telah hadir di sisiku.

Bu, Tresna nggak mau ditinggal sendirian.
Tresna belum bisa
Tresna terlalu sayang pada Ibu !
Aku melanjutkan tangisku yang sudah terlanjur meledak.
Ibu menyambutku sambil tersenyum.
Ya senyuman khas Ibu.
Senyuman yang tidak dimiliki oleh orang lain .

...
(mohon maaf karena nama pengarang tidak ditemukan)

Sabtu, 11 Juli 2009

Ayah..Aku Kapok


Suatu hari…akhirnya setelah lebih dari 2 tahun menikah hal yang dinantikan datang juga. Seorang anak laki-laki yang kelak akan menjadi kebanggaan keluarga di masa nanti.

Dengan berjalannya waktu, sang buah hati berkembang. Dari mulai menangis, tidur tengkurap dan akhirnya sang buah hati pun sudah bisa berjalan bahkan berlari.

Lazimnya dalam perkembangan anak yang dulu hanya bisa menggigit jempol sekarang mulai menunjukan bakat dan kreatifitasnya.

Seiring dengan itu, kehidupan keluarga ini pun menjadi amat bahagia. Memang sudah menjadi sunatullah bahwa setiap diri kita lahir dengan membawa nasib kita masing-masing, termasuk rizki.

Dari hari kehari bisnis keluarga semakin berkembang sehingga kebutuhan untuk keluarga termasuk terhadap sang buah hati semakin di perhatikan.

Dan tak lama kemudian keluarga ini pun mendapat hadiah sebuah mobil BMW keluaran terbaru. Alangkah bersyukurnya mereka diliputi dengan kebahagiaan yang berlipat ganda.

Sang anak pun akhirnya tumbuh menjadi seorang anak laki-laki yang lucu, menggemaskan bahkan tertawanya sangat renyai ketika digoda.

Dengan pakaian yang bersih dan dengan gaya berbicara yang sedikit cedal, pasti membuat semua orang yang melihatnya akan merasa senang.

Menginjak semakin dewasa sang anak mulai ingin belajar menggambar dan menulis. Hal ini sangat disambut gembira oleh kedua orang tuanya. Terutama sang ayah.

Maka ketika pulang dari kantor, sang ayah membelikan seperangkat alat tulis dan gambar lengkap dengan aneka pewarna yang sangat menarik. Dengan penuh suka cita anak itu pun menerima hadiah dari sang ayah

‘tel’ima kasih ayah, adi senang sekali semoga Allah membel’i uang yang buanyak buat ayah, supaya bisa di beliin pensil yang banyak’ sang buah hati berkata dengan mata yang berbinar-binar dan suara yang cedal.

Sejak itu sang anak pun mulai terlihat kreatif, dengan penuh gembira mulai menggambar dan membuat coretan-coretan yang gak karuan dibuku gambar.

Kadang-kadang spidol yang digunakan pun sampai melebihi kertas gambarnya. Sampai-sampai karpet rumah pun sudah berubah warna dengan ‘lukisan’ sang anak yang baru belajar menggambar ini.

Sang ayah pun dengan bergeleng-geleng kepala tersenyum tiap kali istrinya menceritakan betapa bandelnya anaknya sampai-sampai ruang belajarnya menjadi penuh dengan coretan spidol.

Semakin lama semakin jauh anak ini melampiaskan ekspresinya ke dalam ‘kanvasnya’. Tidak hanya lantai dan karpet, sekarang seluruh dinding rumah sudah penuh dengan coretan spidol, pena dan krayon milik sang anak.

Namun hal ini terus dibiarkan oleh sang ayah. Meskipun beberapa kali melihat istrinya tampak memarahi anaknya karena mencorat-coret baju kesayangannya yang akhirnya sudah tidak bisa dipakai lagi. Dan sang ayah pun tersenyum kecut melihat hal itu.

Suatu saat karena hari libur sang ayah tidak pergi ke kantor, maka seharian mereka pun asik bermain dirumah.

Seperti biasa sang anak ingin memamerkan ‘keahliannya’ itu kepada ayahnya. Karena memang selama ini sang ayah jarang sekali kumpul bermain dengan dia.

Karena melihat seluruh rumah sudah penuh sang anak pun lari ke garasi. Sepintas sang anak melihat mobil BWM keluaran terbaru milik ayahnya yang baru beberapa minggu ada dirumahnya.

Karena ingin menunjukkan kepada ayahnya akhirnya mobil tersebut sedikit demi sedikit dia ‘lukis’ dengan spidol. Karena spidol yang dipakai hampir habis, akhirnya dia sedikit menekan-nekan agar kelihatan jelas.

Dan hasilnya dalam waktu sekejap, mobil sedan mewah itu penuh dengan goresan-goresan spidol dan bahkan membekas hingga kedalam cat mobil tersebut.

Sang ayah yang dari tadi mencari di dalam rumah, kemudian menemui sang buah hati dengan kondisi mobil kesayangannya penuh dengan goresan. Dengan serta merta sang ayah pun memarahi sang buah hatinya itu.

Karena dibalut emosi yang menggebu tanpa dia sadari sang ayah pun memukul tangan anaknya berulang-ulang hingga tangan sang anak pun sedikit memar. Dan seharian sang anak pun menangis kesakitan sambil berkata ‘ampun ayah, ampun…’.

Setelah kejadian itu badan sang anak menjadi panas. Dan meskipun sudah diobati dengan berbagai macam obat penurun panas dan bahkan bolak-balik ke dokter, tetap saja masih belum sembuh.

Sang ayah pun mulai menyesal melihat buah hatinya tergeletak lemas di tempat tidur.
Akhirnya sang anak pun dibawa kerumah sakit. Berdasarkan hasil diagnosa dan foto rongent ternyata penyebabnya adalah adanya luka di bagian tangan sang anak.

Karena terlalu parah luka tersebut, maka luka yang ada ditangan sang anak pun mengalami pembusukan. Satu-satunya jalan adalah dengan diamputasi agar tidak menyebar ke bagian tubuh yang lain.

Mendengar hal tersebut sang ayah pun langsung tersungkur dan menangis. Betapa bodohnya dia telah mengorbankan tangan anak kesayangannya demi sebuah mobil BMW keluaran terbarunya. Betapa teganya telah merenggut kebahagiaan sang anak yang selama ini telah menjadi kebanggaannya.

Dan beberapa waktu kemudian setelah dioperasi sang anak pun mulai siuman. Sang ayah adan istrinya yang tak henti-hentinya menangis pun dengan serta merta menatap buah hatinya dengan dalam-dalam.

Dan ketika melihat ayahnya, sang anak dengan lugu dan lemah berkata
‘ampun ayah, adi kapok. Adi berjanji tidak akan menggambar sembarangan lagi. Adi menyesal ayah. Maafkan adi ya’

Dan waktu itu, sang anak masih belum sadar jika dia telah kehilangan tangan kesayangannya.

….

(disadur dari cerita seorang kawan)

Kamis, 09 Juli 2009

Salahnya Kodok

Ust। M। Fauzil Adhim (Salahnya Kodok : Mendidik Anak bagi Ummahat)



Peristiwa sehari-hari yang kecil ternyata sangat efektif untuk menanamkan ideology. Masa kanak-kanak merupakan masa yang paling peka untuk menanamkan aqidah, sikap hidup kreativitas sampai ideology politik pada anak. Anak-anak akan belajar menyikapi peristiwa sehari-hari, kegagalan dan kesuksesan hingga alasan untuk berjuang – dalam bentuk sederhana belajar dengan rajin di sekolah – maupun cara menghadapi orang lain, tuntutan masyarakat hingga mengatasi masalah dari sumber informasi yang utama yaitu orang tua.


Anak-anak Israel mulai belajar politik sejak masih kanak-kanak. Di Negara Yahudi ini anak-anak dibesarkan dalam ‘Kibbutz’ semacam tempat pengasuhan anak yang dilakukan oleh juru asuh. Kepada mereka ditanamkan ajaran zionisme sejak mereka kecil. Dr Djamaludin Ancok menuturkannya dalam buku The Children of Dream. Sedang dirumah, orang tua yahudi yang terkenal licik ini memperlakukan anaknya dengan menakut-nakuti jika menangis maka diancam akan di jual. Dr Usmar Salam mengatakan mendengar hal tersebut anak-anak yahudi berhenti menangis ketika diancam akan dijual oleh orang tuanya.


Selain di Israel di Negara soviet Rusia, penanaman prinsip politik dan ideology komunis melalui pendidikan orang tua dirumah. Mereka mengajarkan prinsip-prinsip pokok sebagai basis konsep politiknya kepada anak-anak sejak dini.

Di Amerika juga memanfaatkan masa-masa awal perkembangan yang masih rawan ini. Berbeda dengan yang lain, di Amerika para orangtua tidak terlibat langsung dalam proses sosialisasi politik. Dr. Djamaludin Ancok mengatakan mereka hanya terlibat pada saat acara makan bersama di dalam keluarga mereka. Selebihnya, di amerika sosialisasi politik lebih banyak dilakukan oleh sekolah, jangan lupa seperangkat pesawat TV-yang program-programnya juga menjadi hidangan keluarga Indonesia.


Berbeda lagi dengan Jepang. Orang tua di Jepang menanamkan nilai-nilai kesatriaan, sportivitas yang tinggi sejak masih kanak-kanak. Bila menghadapi mereka menangis, mereka akan mengatakan buat apa menangis?kena batu saja kok menangis?setelah itu mereka akan menjelaskan alasannya. Oleh karena itu didada anak-anak Jepang dengan pendidikan keluarga seperti ini selalu tertanam rasa kesatria. Keadaan ini mengakibatkan anak-anak Jepang selalu berhati-hati, harus berani dan tidak cengeng. Sikap ini memiliki dampak positif yang sangat besar setelah mereka dewasa.


Iran lain lagi. Di negeri Salman Al-Farisi ini, orang tua bersama-sama pemerintah mengajarkan kepada anak-anak kerinduan untuk mati syahid dan menjalin persaudaraan dengan seluruh umat Islam dunia. Anak-anak dikumpulkan untuk mendengar kisah-kisah perjuangan para syuhada. Mereka mendengarkan dalam suasana yang heroic satu demi satu cerita sampai akhirnya mencapai puncak kisah, keharuan yang didambakan dan kebahagian yang dicita-citakan, yaitu mati syahid. Mereka mendengarkan kisah-kisah ini dalam acara yang disebut ta’ziyah.


Nah, jika orang tua yahudi mengajarkan kelicikan kepada anak-anaknya ketika mereka menangis, orangtua amerika mengajarkan nasionalisme melalui acara makan malam keluarga, Rusia memberikan indoktrinasi komunisme melalui kepatuhan tanpa syarat tanpa tanya kepada orang tua dan bangsa Iran yang mengajarkan orientasi akhirat kepada anak-anaknya, bagaimana dengan orang tua Indonesia?


Ketika anak menangis karena terjatuh, orang tua Indonesia menyikapi dengan menyalahkan pada kodok ‘aduh sayang…siapa yang nakal…ou..kodok..ya cup..cup’. Kodok masih beruntung. Kasihan ayam kalau kebetulan pas lewat sedangkan anak terjatuh dan menangis maka sambil melempar ayam orangtua si anak berkata ‘uh, ayamnya nakal, sudah ibu lempar biar kapok’.


Di kota-kota besar yang tidak pernah bertemu dengan kodok maupun ayam sehingga anak sulit untuk membayangkan, biasanya kesalahan akan dilimpahkan kepada pembantu dengan berteriak ‘Bi, kenapa Andi jatuh, diperhatikan dong, yang benar kalau menjaga anak’.


Jika anak jepang belajar menjadi kesatria samurai, anak-anak ‘kodok’ belajar mencari alasan. Jika anak-anak Iran sejak kecil dididik merindukan mati syahid dengan cara bersungguh-sungguh berjuang sebagai apa pun untuk Islam, anak-anak ‘kodok’ terdidik untuk menikmati hasil perjuangan orang lain.


Mereka mengembangkan sikap ‘argumentum ad hominem’ suatu istilah untuk menamakan perilaku suka menyalahkan sesuatu karena ia tidak mampu melakukan, suka mencari-cari kesalahan susuatu di luar dirinya agar ia memiliki cukup alasan untuk memaafkan dirinya sendiri.


Kita bersikap ‘argumentum ad hominem’ jika kita menyalahkan korban bencana alam hanya lantaran kita tidak ikut meringankan beban mereka, tetapi ketika kita mampu dan skaligus mau menolong mereka kita menyalahkan orang lain yang tidak membantu karena mereka tak ‘sebaik kita’.


Seorang anak bersikap ‘argumentum ad hominem’ dengan menyalahkan orangtuanya yang tidak mengikutkan les matematika ketika mendapatkan nilai rendah. Wali murid menyalahkan gurunya ketika anaknya tidak lulus. Orang tua menyalahkan rumahnya yang sempit dan fasilitas yang rendah ketika anaknya tidak bisa berkembang secara kreativ. Padahal Allah menyediakan alam seisinya ini termasuk tetangga kita sebagai tempat untuk mengembangkan kebajikan. Apakah kita sudah tidak terbiasa bertetangga, ya?


Jadi bagi kita mari instropeksi diri. Sedang bagi yang akan dan baru menikah, mari kita berusaha untuk mempersiapkan hati dan jiwa kita. Semoga Allah mensucikan jiwa kita dan memasukkan kita ke dalam golongan yang kembali padaNya dengan jiwa yang tenang, puas dan diridhai-Nya Amiin. Smoga Allah mengarunia kepada kita anak-anak yang hukma-shabiya rabbi radhiya, allahumma amin..