Minggu, 26 Juli 2009

Seindah Cinta Ibu

ketika tidak sengaja menemukan sebuah artikel...
semoga bisa menginspirasi semuanya....

...

Bila aku mencintai Ibu,
itu semata-mata karena dari rahimnya yang suci aku terlahir.
Alasan itu sudah cukup bagiku untuk mencintainya sepenuh jiwa.
Jika kemudian cintaku berkembang dan terus bermekaran, itu karena Ibu selalu menitipkan kasihnya padaku tanpa pernah ada keinginan untuk mengambilnya kembali.
Sungguh aku merasa mendapat kemuliaan tak terkira berkesempatan menjaga cinta itu agar terus bersemi di bilik hati.

Ibu memang teramat istimewa bagiku.
Dia adalah matahari yang tak pernah lelah menghangatkan bumi.
Dia juga bulan yang selalu setia memantulkan cahaya cinta sang matahari dalam pekatnya malam.
Bahkan Ibu adalah angin pembawa kesejukan bagi nuraniku.
Dan adalah Ibu, sosok wanita yang selalu kukagumi sepenuh hati karena ketegaran dan ketulusan cintanya.

Kamu nggak malu Tres,
Malu kenapa,Bu?
Kamu nggak malu jalan bareng sama Ibu seperti ini?
Justru Tresna selalu sangat menginginkan kesempatan seperti ini, Bu, berjalan-jalan berdua dengan Ibu, memperkenalkan Ibu dengan teman-teman Tresna.
Hal ini sangat membuat Tresna bahagia, sambungku kemudian.

Bukan salah Allah jika Ibu diciptakan dengan kaki yang begitu ringkih, bengkok dan teramat kecil.
Bukan maksud Allah menjadikan Ibu sebagai bahan tertawaan anak-anak kecil karena ia hanya mampu ngesot untuk mencapai suatu tempat.
Yah, Ibu, karena kecacatannya itu, tidak bisa berjalan secara normal.
Bukan juga kehendak Ibu bila dalam keadaan seperti ini kami mengalami kehidupan yang sulit.
Menjadi pembatik adalah cara Ibu untuk mendapatkan penghasilan untuk membesarkan dan menyekolahkanku.
Kamu nggak perlu marah pada mereka, Tres.
Ibu bisa maklum mengapa mereka mentertawakan Ibu.
Lagipula Ibu juga nggak malu.
Justru Ibu bangga diciptakan dalam bentuk yang istimewa seperti ini.
Setiap saat Ibu bisa tersadarkan akan kebesaran Gusti Allah.
Kalau Ibu ikhlas menerimanya, maka Gusti Allah pun akan ikhlas menerima Ibu nanti.
Kalau Ibu tersenyum saat menerima ejekan dan hinaan ini, maka Gusti Allah juga akan tersenyum kepada Ibu.

Aku terdiam sejenak.
Ah Ibu....
Lamunanku dibuyarkan oleh tepukan Ibu.
Kita turun sini aja, Tres. Udah sampai.
Kita belanja kain sidomukti dan parangrusak pesenan Bu Padmo dan Bu Singgih dulu.
Setelah itu kita nyari bahan baju buat kamu.
Aku mengangguk.
Setelah belanjanya selesai, aku dan Ibu memutuskan untuk segera pulang.
Namun tiba-tiba dari arah seberang aku mendengar letusan diikuti hiruk-pikuk suara orang-orang berteriak.

Kebakaran ! Kebakaran ! Lari !
Aku panik menghadapi situasi seperti ini.
Orang-orang berlarian, berebutan ingin cepat-cepat keluar dari pasar.
Aku berpikir bagaimana caranya bisa membawa Ibu keluar dari pasar dengan cepat. Akhirnya aku putuskan untuk menggendong Ibu.
Hanya itu cara yang paling memungkinkan yang bisa aku lakukan.

Bu, Tresna akan menggendong Ibu!
Dan dalam sekejap Ibu sudah ada di punggungku.
Sekuat tenaga aku berlari menghindari kobaran api yang semakin membesar. Namun karena membawa beban berat, lariku tidak bisa cepat.
Aku sangat kelelahan, terhimpit dalam desakan massa, aku tidak bisa leluasa bergerak.
Tiba-tiba ada seorang laki-laki menabrakku dan aku terjerembab bersama Ibu.
Aku berusaha berdiri, tapi tidak bisa.
Kulihat Ibu pingsan terinjak-injak orang. Aku menangis, berteriak minta tolong. Namun tak seorang pun peduli.
Dan DUARR !
Sebuah ledakan memperbesar kebakaran itu.
Api menjilat-jilat di depanku.
Hawa panasnya menyapu wajahku.
Sekuat tenaga aku berusaha menggapai tubuh ibu.
Namun serta merta ada tangan kokoh menyeretku menghindar dari jilatan api.
Aku meronta.
Yang kumau hanyalah Ibu.
Aku berteriak-teriak memanggil-manggil Ibu.
Tapi aku tidak melihat bayangannya lagi.
Akhirnya aku hanya bisa menangis.
Kupandangi jilatan api yang melahap pasar dan isinya.
masih banyak orang yang ada di dalam yang tidak sempat menyelamatkan diri.
Dan salah satunya adalah ibuku
Aku terisak, tersedu menyadari hal itu.

Hampir satu jam, kebakaran itu baru bisa diatasi.
Asap masih mengepul di sebagian sudut pasar.
Jerit tangis dan hiruk-pikuk orang berbaur dengan hingar-bingar suara ambulan dan mobil pemadam kebakaran.
Aku amati mereka.
Kucari sosok yang berkaki bengkok dan kecil.
Aku menahan napas, hatiku berdebar-debar dan jantungku terus berpacu.

Semoga tak kutemukan, batinku.
Begitu samapai pada ujung barisan, hatiku terlonjak.
Ibu tidak termasuk dalam jajaran korban yang gosong itu.
Harapan untuk bisa menemukan Ibu dalam keadaaan selamat kembali muncul.

Gontai langkahku kuseret menuju Rumah Sakit Dharma Pertiwi.
Kata petugas kesehatan, korban yang luka dievakuasi ke sana.
Jarak rumah sakit yang hanya satu setengah kilometer terasa sangat jauh. Langkahku sebenarnya tersa sangat berat.

Ada pasien dengan kaki kecil dan bengkok, Suster?
Ada, kebetulan tadi saya yang menanganinya.
Lukanya sangat parah.
Mari saya antar.
Aku mengikuti langkah perawat yang masih seumuran denganku itu ke bangsal tiga lantai satu.
Ternyata di sana sudah penuh dengan orang
Di sebelah sana, tempat tidur baris ketiga dari jendela.

Apakah lukanya parah suster ?
Yah memang sangat parah.
Tapi masih bisa hidup kan, Suster...?
Perawat itu mengangguk.
Tapi kemungkinan dia akan mengalami cacat di wajah dan gangguan penglihatan.

Maksud suster buta?
Kembali perawat itu mengangguk.
Aku tersedu.
Lengkap sudah penderitaanmu, Bu.
Puaslah mereka yang ingin mentertawakanmu.
Ya Allah beginikah cara-Mu menyayangi ibuku ?
Seandainya penderitaan ini bisa kuganti, bairlah ya Allah, aku yang menanggungnya asal Kau bahagiakan ibuku.
Kembali tangisan kepedihan mengguncangku.
Hatiku teriris, miris dan perih.
Aku tidak akan bisa tahan melihat penderitaan Ibu.

Kutunggui Ibu sepanjang hari ini.
Kutatap putih perban yang melilit seluruh wajah dan tubuhnya.
Aku ingin jika nanti Ibu siuman ia tahu bahwa putri satu-satunya ada di sisinya. Dalam shalat asharku tadi aku berdoa khusus untuk Ibu.
Aku minta agar aku diberi kesempatan untuk membahagiakananya.
Aku ingin Ibu melihatku lulus kuliah, memakai toga dan diwisuda.
Tiba-tiba aku melihat gerakan lemah pada jemari ibu.
Ibu sudah sadar! sorakku dalam hati.
Kusentuh jemari Ibu pelan.
Kubisikkan kalimat-kalimat penyemangat.
Ini Tresna, Bu !
kembali gerakan lemah jemarinya muncul.
Hatiku girang.
Berulangkali ucapan hamdalah mengalir dari bibirku.

Ibu ada di rumah sakit.
Ibu kena luka bakar dalam kebakaran di pasar tadi pagi.
maafkan Tresna yang tidak sempat menyelamatkan Ibu.
Semua terjadi begitu cepat

Ibu jangan menangis kuelus lalu kucium jemarinya.
Ibu, Tresna sudah belajar menjadi tegar seperti Ibu.
Tresna sudah berusaha untuk tidak menjadi cengeng.
Tapi Ibu jangan menangis seperti ini.
Kalau ibu menangis...
Tresna... hik hik .

Akhirnya aku hanya bisa menelumgkupkan wajahku di kasur Ibu.
Aku takut membayangkan hidup seorang diri tanpa bimbingan kasih Ibu.
Aku tak peduli walau ibuku tidak senormal wanita-wanita lain.
Apa pun keadaannya, tak akan ada yang sanggup menggantikannya, cintanya, ketulusannya, nasihat-nasihatnya, juga senyumnya.
Di balik ringkih tubuhnya, ibuku adalah seorang wanita yang kuat.
Kuat dalam arti yang sebenarnya.
Air mata yang tadi kutahan terus berjatuhan satu-satu.

Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh bahuku dan sebuah suara memanggil namaku. Suara itu aku sangat mengenalnya.
Perlahan kuangkat wajahku, dan kuperhatikan tubuh berbalut perban putih di depanku.
Masih diam.

Tresna, kenapa kamu menangis di situ, Nduk ?
Ibu di sini, Cah Ayu...
Aku menoleh.
Kaget setengah mati.
Disamping kiriku ada sesosok yang sangat kukenal.
IBU!
Benar dia ibuku.
Jadi yang kutunggui dan kutangisi sepanjang hari ini siapa?
Maaf, Mbak, orang yang terbaring itu bukan ibu Mbak.
namanya Fitri, usianya 30 tahun.
Dia anak saya, seorang ibu-ibu setengah baya memahami keterjutanku.
Seorang perawat yang tadi mengantarkanku pun mengangguk pelan.
Akhirnya penuh rasa syukur aku menghambur ke pelukan Ibu yang telah hadir di sisiku.

Bu, Tresna nggak mau ditinggal sendirian.
Tresna belum bisa
Tresna terlalu sayang pada Ibu !
Aku melanjutkan tangisku yang sudah terlanjur meledak.
Ibu menyambutku sambil tersenyum.
Ya senyuman khas Ibu.
Senyuman yang tidak dimiliki oleh orang lain .

...
(mohon maaf karena nama pengarang tidak ditemukan)

2 komentar:

freeda march mengatakan...

Keren bro...
Ibuk, memang satu inspirasi untuk aq tetap bertahan dsini... mencoba melangkah walau terseok, berharap masih diberi kesempatan untuk bisa membahagiakannya dengan kelulusanku...

Untukmu pula bro.. semangat!!!

ahmadeo brotowali mengatakan...

thanks ukht..
a tunggu kabar baiknya ya..