Kamis, 09 Juli 2009

Salahnya Kodok

Ust। M। Fauzil Adhim (Salahnya Kodok : Mendidik Anak bagi Ummahat)



Peristiwa sehari-hari yang kecil ternyata sangat efektif untuk menanamkan ideology. Masa kanak-kanak merupakan masa yang paling peka untuk menanamkan aqidah, sikap hidup kreativitas sampai ideology politik pada anak. Anak-anak akan belajar menyikapi peristiwa sehari-hari, kegagalan dan kesuksesan hingga alasan untuk berjuang – dalam bentuk sederhana belajar dengan rajin di sekolah – maupun cara menghadapi orang lain, tuntutan masyarakat hingga mengatasi masalah dari sumber informasi yang utama yaitu orang tua.


Anak-anak Israel mulai belajar politik sejak masih kanak-kanak. Di Negara Yahudi ini anak-anak dibesarkan dalam ‘Kibbutz’ semacam tempat pengasuhan anak yang dilakukan oleh juru asuh. Kepada mereka ditanamkan ajaran zionisme sejak mereka kecil. Dr Djamaludin Ancok menuturkannya dalam buku The Children of Dream. Sedang dirumah, orang tua yahudi yang terkenal licik ini memperlakukan anaknya dengan menakut-nakuti jika menangis maka diancam akan di jual. Dr Usmar Salam mengatakan mendengar hal tersebut anak-anak yahudi berhenti menangis ketika diancam akan dijual oleh orang tuanya.


Selain di Israel di Negara soviet Rusia, penanaman prinsip politik dan ideology komunis melalui pendidikan orang tua dirumah. Mereka mengajarkan prinsip-prinsip pokok sebagai basis konsep politiknya kepada anak-anak sejak dini.

Di Amerika juga memanfaatkan masa-masa awal perkembangan yang masih rawan ini. Berbeda dengan yang lain, di Amerika para orangtua tidak terlibat langsung dalam proses sosialisasi politik. Dr. Djamaludin Ancok mengatakan mereka hanya terlibat pada saat acara makan bersama di dalam keluarga mereka. Selebihnya, di amerika sosialisasi politik lebih banyak dilakukan oleh sekolah, jangan lupa seperangkat pesawat TV-yang program-programnya juga menjadi hidangan keluarga Indonesia.


Berbeda lagi dengan Jepang. Orang tua di Jepang menanamkan nilai-nilai kesatriaan, sportivitas yang tinggi sejak masih kanak-kanak. Bila menghadapi mereka menangis, mereka akan mengatakan buat apa menangis?kena batu saja kok menangis?setelah itu mereka akan menjelaskan alasannya. Oleh karena itu didada anak-anak Jepang dengan pendidikan keluarga seperti ini selalu tertanam rasa kesatria. Keadaan ini mengakibatkan anak-anak Jepang selalu berhati-hati, harus berani dan tidak cengeng. Sikap ini memiliki dampak positif yang sangat besar setelah mereka dewasa.


Iran lain lagi. Di negeri Salman Al-Farisi ini, orang tua bersama-sama pemerintah mengajarkan kepada anak-anak kerinduan untuk mati syahid dan menjalin persaudaraan dengan seluruh umat Islam dunia. Anak-anak dikumpulkan untuk mendengar kisah-kisah perjuangan para syuhada. Mereka mendengarkan dalam suasana yang heroic satu demi satu cerita sampai akhirnya mencapai puncak kisah, keharuan yang didambakan dan kebahagian yang dicita-citakan, yaitu mati syahid. Mereka mendengarkan kisah-kisah ini dalam acara yang disebut ta’ziyah.


Nah, jika orang tua yahudi mengajarkan kelicikan kepada anak-anaknya ketika mereka menangis, orangtua amerika mengajarkan nasionalisme melalui acara makan malam keluarga, Rusia memberikan indoktrinasi komunisme melalui kepatuhan tanpa syarat tanpa tanya kepada orang tua dan bangsa Iran yang mengajarkan orientasi akhirat kepada anak-anaknya, bagaimana dengan orang tua Indonesia?


Ketika anak menangis karena terjatuh, orang tua Indonesia menyikapi dengan menyalahkan pada kodok ‘aduh sayang…siapa yang nakal…ou..kodok..ya cup..cup’. Kodok masih beruntung. Kasihan ayam kalau kebetulan pas lewat sedangkan anak terjatuh dan menangis maka sambil melempar ayam orangtua si anak berkata ‘uh, ayamnya nakal, sudah ibu lempar biar kapok’.


Di kota-kota besar yang tidak pernah bertemu dengan kodok maupun ayam sehingga anak sulit untuk membayangkan, biasanya kesalahan akan dilimpahkan kepada pembantu dengan berteriak ‘Bi, kenapa Andi jatuh, diperhatikan dong, yang benar kalau menjaga anak’.


Jika anak jepang belajar menjadi kesatria samurai, anak-anak ‘kodok’ belajar mencari alasan. Jika anak-anak Iran sejak kecil dididik merindukan mati syahid dengan cara bersungguh-sungguh berjuang sebagai apa pun untuk Islam, anak-anak ‘kodok’ terdidik untuk menikmati hasil perjuangan orang lain.


Mereka mengembangkan sikap ‘argumentum ad hominem’ suatu istilah untuk menamakan perilaku suka menyalahkan sesuatu karena ia tidak mampu melakukan, suka mencari-cari kesalahan susuatu di luar dirinya agar ia memiliki cukup alasan untuk memaafkan dirinya sendiri.


Kita bersikap ‘argumentum ad hominem’ jika kita menyalahkan korban bencana alam hanya lantaran kita tidak ikut meringankan beban mereka, tetapi ketika kita mampu dan skaligus mau menolong mereka kita menyalahkan orang lain yang tidak membantu karena mereka tak ‘sebaik kita’.


Seorang anak bersikap ‘argumentum ad hominem’ dengan menyalahkan orangtuanya yang tidak mengikutkan les matematika ketika mendapatkan nilai rendah. Wali murid menyalahkan gurunya ketika anaknya tidak lulus. Orang tua menyalahkan rumahnya yang sempit dan fasilitas yang rendah ketika anaknya tidak bisa berkembang secara kreativ. Padahal Allah menyediakan alam seisinya ini termasuk tetangga kita sebagai tempat untuk mengembangkan kebajikan. Apakah kita sudah tidak terbiasa bertetangga, ya?


Jadi bagi kita mari instropeksi diri. Sedang bagi yang akan dan baru menikah, mari kita berusaha untuk mempersiapkan hati dan jiwa kita. Semoga Allah mensucikan jiwa kita dan memasukkan kita ke dalam golongan yang kembali padaNya dengan jiwa yang tenang, puas dan diridhai-Nya Amiin. Smoga Allah mengarunia kepada kita anak-anak yang hukma-shabiya rabbi radhiya, allahumma amin..


Tidak ada komentar: